Buku Majmu Syarif Kamil di Terbitkan oleh Penerbit : Cv. Jumanatul Ali-Art. Jl. Adikrisan No. 8 Perum. Bumi Adipura Gedebage Bandung./ Jl Warung Peuteuy No.207 Tarogong Kaler Garut Jawa Barat.

Cinta Terhadap Rasulullah

Sebagai muslim kita wajib mengimani Rasul, sebagai utusan Allah untuk menyampaikan risalah kepada umat manusia, keimanan kepada Allah harus juga mengimani Rasul begitu juga halnya mengimani Rasul wajib mengimani Allah. Orang yang hanya mengimani Allah tapi mengingkari Rasul maka itu adalah sebuah kebatilan dan sebaliknya beriman kepada Rasul lalu menolak eksistensi Allah merupakan penyelewengan aqidah. Iman kepada Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wa Sallam adalah dasar agama yang Maha Benar ini, dienul Islam, sebagaimana sabda beliau Shallallaahu alaihi wa Sallam: “Artinya: Islam itu dibangun di atas lima rukun, bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan RasulNya ... (HR. Muslim I/45. Lihat Al-Bukhari I/13). Setelah beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka beriman kepada Rasulullah Muhammad Shallallaahu alaihi wa Sallam adalah sebagai pondasi yang utama. Sebab seluruh pondasi yang lainnya dibangun di atas keimanan pada Allah dan Rasul Muhammad Shallallaahu alaihi wa Sallam. Sehingga orang yang tidak mengimani Rasulullah dan hanya beriman kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa saja, itu tidaklah cukup, dan batal Iman yang demikian itutidak sah. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda:“Demi Allah yang jiwa Muhammad ada di tanganNya! Tidak seorangpun yang mendengar tentang aku dari umat (manusia) ini, seorang Yahudi atau Nasrani, kemudian meninggal dunia dan tidak beriman kepada yang aku diutus karenanya, kecuali ia termasuk menjadi penduduk Neraka”. (HR. Muslim I/34). Itulah pentingnya beriman kepada Rasul yang merupakan pondasi agama dan amal-amal ibadah. Sehingga tanpa mengimani Rasul alias ingkar kufur pada Rasul, maka gugurlah amal kebaikan serta jauh dari rahmat Allah. Allah berfirman:“Dan barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amal-amalnya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang yang merugi”. (Al-Maidah: 5) “Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya baginyalah neraka Jahanam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya”. Bahkan mereka akan ditimpa musibah dan adzab yang pedih, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat An-Nur : 63.“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih”. Oleh sebab itu maka hendaklah kita senantiasa bersyukur kepada Allah atas hidayah Iman kita kepada Rasulullah Muhammad Shallallaahu alaihi wa Sallam dengan bersabar dalam mengikuti dan mentaati beliau.[Waznin Ibnu Mahfudl, Beriman Kepada, Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wa Sallam, www.alsofwah.or.id/khutbah]. Keimanan kepada Rasulullah mengandung konsekwensi taat dan mencintainya, yang kecintaan itu sejajar dengan kecintaaan beliau kepada ummatnya sehingga beliau rela mempertaruhkan jiwa raganya untuk menyelamatkan ummat manusia di dunia hingga akherat.Dr. Saad Riyadh dalam bukunya berjudul Jiwa Dalam Bimbingan Rasulullah Saw, menyatakan; Rasulullah saw, bersabda,”Demi jiwaku yang berada dalam genggaman-Nya, seseorang belum akan dikatakan beriman sebelum aku menjadi orang yang lebih ia cintai daripada orangtua dan anaknya.”[HR. Bukhari]. Rasulullah saw, bersabda,”Tiga hal yang apabila terdapat dalam diri seseorang maka dia akan merasakan manisnya iman. Apabila Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai dari yang selainnya, dia mencintai atau membenci orang lain semata-mata karena Allah, dan [yang terakhir] dia sangat tidak tela kembali kepada kakafiran setelah Allah menyelamatkannya [dengan memberinya petunjuk] sebagaimana dia sangat tidak suka dilemparkan ke dalam neraka.”[HR. Bukhari]. Anas bin Malik ra, berkata bahwa seseorang pernah bertanya kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah saw, kapankah terjadinya hari Kiamat?” beliau balik bertanya,”Apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapinya?” dia menjawab,”Saya tidak memiliki persiapan shalat, atau puasa, atau sedekah yang banyak, tetapi [yang jelas] saya sangat mencintai Allah swt dan Rasul-Nya.” Mendengar ucapannya itu Rasulullah saw, bersabda,”Engkau kelak akan bersama-sama dengan orang yang engkau cintai itu.” [HR. Bukhari]. [Gema Insani, 2007, hal, 191]. Cinta yang paling tinggi dan paling wajib serta yang paling bermanfaat mutlak adalah cinta kepada Allah Ta’ala semata, diiringi terbentuknya jiwa oleh sikap hanya menuhankan Allah Ta’ala saja. Karena yang namanya Tuhan adalah sesuatu yang hati manusia condong kepadanya dengan penuh rasa cinta dengan meng-agungkan dan membesarkannya, tunduk dan pasrah secara total serta menghamba kepadaNya. Allah Ta’ala wajib dicintai karena DzatNya sendiri,sedangkan yang selain Allah Ta’ala dicintai hanya sebagai konsekuensi dari rasa cinta kepada Allah Ta’ala. Dalam Sunan At-Tirmidzi dan lain-lain, Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda:“Tali iman yang paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah.” (HR.At Tirmidzi) Dalam riwayat lain, Rasulullah juga bersabda:“Barangsiapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah dan tidak memberi karena Allah, maka sungguh telah sempurna Imannya.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi, ia mengatakan hadits hasan) Dari dua hadits di atas kita bisa mengetahui bahwa kita harus memberikan kecintaan dan kesetiaan kita hanya kepada Allah semata. Kita harus mencintai terhadap sesuatu yang dicintai Allah, membenci terhadap segala yang dibenci Allah, ridla kepada apa yang diridlai Allah, tidak ridla kepada yang tidak diridlai Allah, memerintahkan kepada apa yang diperintahkan Allah, mencegah segala yang dicegah Allah, memberi kepada orang yang Allah cintai untuk memberikan dan tidak memberikan kepada orang yang Allah tidak suka jika ia diberi. Dalam pengertian menurut syariat, dimaksud dengan al-hubbu fillah (mencintai karena Allah) adalah mencurahkan kasih sayang dan kecintaan kepada orang –orang yang beriman dan taat kepada Allah ta’ala karena keimanan dan ketaatan yang mereka lakukan. Sedangkan yang dimaksud dengan al-bughdu fillah (benci karena Allah) adalah mencurahkan ketidaksukaan dan kebencian kepada orang-orang yang mempersekutukanNya dan kepada orang-orang yang keluar dari ketaatan kepadaNya dikarenakan mereka telah melakukan perbuatan yang mendatangkan kemarahan dan kebencian Allah, meskipun mereka itu adalah orang-orang yang dekat hubungan dengan kita, sebagaimana firman Allah Ta’ala:“Kamu tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling kasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan RasulNya, sekalipun orang orang itu bapak-bapak, anak-anak sauadara-saudara ataupun saudara keluarga mereka.” (Al-Mujadalah: 22) Jadi, para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in serta pengikut mereka di seluruh penjuru dunia adalah orang-orang yang lebih berhak untuk kita cintai (meskipun kita tidak punya hubungan apa-apa dengan mereka), dari pada orang-orang yang dekat dengan kita seperti tetangga kita, orang tua kita, anak-anak kita sendiri, saudara-saudara kita, ataupun saudara kita yang lain, apabila mereka itu membenci, memusuhi dan menentang Allah dan RasulNya dan tidak melakukan ketaatan kepada Allah dan RasulNya maka kita tidak berhak untuk mencintai melebihi orang-orang yang berjalan di atas al-haq dan orang yang selalu taat kepada Allah dan rasulNya. Demikian juga kecintaan dan kebencian yang tidak disyari’atkan adalah yang tidak berpedoman pada kitabullah dan sunnah Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam. Dan hal ini bermacam-macam jenisnya di antaranya adalah: kecintaan dan kebencian yang dimotifasi oleh harta kekayaan, derajat dan kedudukan, suku bangsa, ketampanan, kefakiran, kekeluargaan dan lain-lain, tanpa memperdulikan norma-norma agama yang telah digariskan oleh Allah Ta’ala [Ramaisha Ummu Hafidz, Cinta Dan Benci Karena Allah, www.alsofwah.or.id/khutbah]. Kecintaan kita kepada Rasulullah dilatar belakangi oleh perintah Allah Swt bahkan seharusnya kecintaan kita kepada yang lainpun berangkat karena Allah semata sehingga kita meletakkan makna cinta itu sesuai dengan yang dikehendaki Allah agar bernilai ibadah, kecintaan kepada orangtua, cinta kepada anak dan isteri dan kecintaan kepada lain semuanya dibingkai karena Allah, apalagi cinta kepada Rasulullah. Suatu hari Umar bin Khattab Radhiyalahu’anhu bersama Rasulullah saw, sebagaimana biasa beberapa hal menjadi pembicaraan Rasulullah dan para sahabat lainnya.”Ya Rasulullah, aku lebih mencintai engkau dari segala sesuatu kecuali dari diriku sendiri”, ucap Umar saat itu kepada Rasulullah. “Wahai Umar, cintamu itu belum bisa diterima, sampai engkau mencintai aku dari segala sesuatu termasuk dari dirimu sendiri”, sahut Rasululah. Mendengar jawaban Rasulullah itu, seketika itu juga Umar bin Khattab mengatakan, “Ya Rasulullah kini aku mencintai engkau lebih dari mencintai diriku sendiri”, maka Rasululah menyambung, “Barulah sekarang benar wahai Umar”. Dari dialoq itu, Rasulullah lantas bersabda, “Tidak sempurna iman salah seorang diantara kamu sehingga aku lebih dicintai baginya dari dirinya, orangtuanya, anak-anaknya dan semua manusia” [HR. Bukhari]. Mencintai Rasulullah adalah kewajiban yang dibebankan kepada setiap mukmin disamping kewajiban-kewajiban syariat Islam lainnya. Bahkan cinta kepada Rasululah serta mengikuti tuntunannya adalah bukti cinta kepada Allah Swt, Allah berfirman dalam surat At Taubah 9;24, “Katakan hai Muhammad, “Jika kalian mencintai Allah maka itulah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampungi dosa kalian”. Karenanya sejarah kehidupa para sahabat penuh dengan episode-episode Mahabbaturrasul dalam berbagai bentuknya. Diawal sejarah Islam, seorang Abu Bakar disiksa oleh kafir Quraisy karena berani membaca ayat-ayat Al Qur’an dihadapan mereka, sampai babak belur dan pingsan. Begitu siuman, yang ditanyakan Abu Bakar adalah Rasulullah, “Bagaimana keadaan Muhammad Rasulullah?” . Suatu hari Rasulullah mengirim empat orang da’i ke kabilah ‘Udhal dan Qarah, keempat da’i itu dikhianati dan dibunuh di tengah perjalanan. Salah seorang dari mereka bernama Zaid bin Datsinah. Menjelang beberapa saat hendak dibunuh, orang-orang kafir pengecut itu menawarkan sesuatu kepadanya, ”Bagaimana kalau kamu saat ini duduk dengan nyaman bersama keluargamu, sementara sebagai gantinya Muhammad yang ada di sini”, ”Demi Allah, sekejappun aku tidak rela jika sekarang ini Muhammad terkena duri sedikitpun sedang aku duduk bersenang-senang bersama keluaragaku”, jawab Zaid bin Datsinah dengan tegas. Laksana petir, jawaban itu sungguh memerahkan telinga. Keheranan dan segala kebencian berbaur dalam hati mereka, sampai salah seorang dari mereka berucap, ”Tidak ada seseorang yang dicintai oleh para sahabatnya, sebagaimana cintanya sahabat Muhammad kepada Muhammad”. Sementara itu usia perang Uhud yang melelahkan, kaum muslimin berkemas. Syahidnya sahabat-sahabat agu ng belum bisa begitu saja dilupakan dari benak mereka. Disatu sisi kebahagiaan tergambar, bahwa mereka yang syahid akan segera bertemu dengan para syuhada’ Badr di syurga. Tetapi disisi lain semua itu tidak begitu saja dapat menghapus rasa kehilangan yang mendalam. Ditengah suasana itu, tampak seorang wanita yang sedang mencari-cari seseorang. Tak berapa lama ada orang membawa tandu yang isinya jenazah, ”Jenazah siapa itu ?” tanya wanita itu. ”Jenazah anakmu”, jawab yang membawa tandu. Tetapi wanita itu diam saja. Diapun berlalu dan berjumpa dengan jenazah suaminya. Dia tetap diam saja. Kemudian dia bertemu dengan orang yang membawa jenazah kakaknya sendiri, diapun diam saja, ”Biarlah semua keluargaku syahid dalam jihad ini, tapi bagaimana keadaan Rasulullah ? betulkah dia wafat? Sebelum bertemu beliau hatiku tidak akan tenang” kata wanita itu dengan rasa cemas. Masih banyak kisah-kisah yang menggambarkan bagaimana kecintaan para sahabat kepada Rasulullah Saw. Ketika Rasulullah dan pasukan kaum muslimin sampai di Tabuk, Abu Khaitsamah keluar dari barisan lalu pulang. Sesampainya di rumah rupanya sang isteri telah menyediakan makanan dan minuman lezat. Seketika terbayanglah olehnya wajah Rasulullah yang hari itu disengat matahari, bermandikan keringat, siap menyabung nyawa mempertahankan aqidah dan menyebarkan kalimatullah. Dengan penyesalan yang mendalam Abu Khaitsamah berkata dalam hati, ”Bagaimana aku ini, Rasulullah pergi ke medan perang, sedangkan aku bersenang-senang di rumah”. Segera ia memacu kudanya kembali untuk bergabung dengan kaum muslimin. Ketika hijrah menelusuri perjalanan yang penuh bahaya, Abu Bakar dengan waspada kadang berjalan di depan Rasulullah, kadang di belakangnya, kadang kesamping kanan, sebentar kemudian lari pula ke samping kiri. Beliau khawatir kalau-kalau musuh akan menghantam Rasul dari berbagai posisi lain. Karena kecintaan yang mendalam pulalah, ketika mendengar kabar bahwa Rasulullah wafat, Umar bin Khattab pada mulanya tidak percaya, ”Siapa yang mengatakan Muhammad telah wafat maka dia akan berhadapan dengan pedangku ini. Dia tidak wafat, tetapi menemui Allah sebagaimana Musa menemui Rabbnya” serunya dengan keras. Kenyataan ini akhirnya harus diterima Umar bin Khattab, saat Abu Bakar menjelaskan, ”Barangsiapa menyembah Allah, maka sesungguhnya Ia hidup dan tidak mati. Tetapi barangsiapa menyembah Muhammad, maka sesungguhnya ia telah mati”, lalu beliau membaca firman Allah, ”Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya para Rasul. Apakah jika dia wafat atau terbunuh kamu berbalik ke belakang [murtad]” [Ali Imran 3;144]. Rasulullah sendiri sangat mencintai ummatnya. Ketika hijrah ke Madinah, Rasulullah adalah orang yang terakhir meninggalkan Mekkah. Ketika sudah jelas bahwa ummatnya selamat semua di Madinah, barulah beliau meninggalkan Mekkah dalam bahaya yang sangat besar. Sementara sesudah masa keemasan itu, sejarah kemudian mencatat bahwa tidak sedikit pemimpin yang tampaknya dicintai dan diagung-agungkan rakyatnya. Tetapi begitu lengser, ia dihujat, dicaci maki bahkan diseret ke pengadilan. Ironinya tidak sedikit dari para penghujat itu yang sebenarnya bekas penjilat pemimpin yang dihujat itu. Adapun cinta seorang mukmin kepada Rasulullah sebagaimana dicontohkan para sahabat itu, adalah cinta imani. Bahkan cinta kepada Allah tidak sempurna bila belum lagi mencintai Rasul-Nya, ”Katakanlah, jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusannya, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasiq” [At Taubah;24], wallahu a’lam [Mukhlis Denros, Majalah Sabili Jakarta nomor 11/ Desember 1998]. Kecintaan kepada Rasulullah akan memotivasi bahkan wajib untuk meneladani akhlaknya dalam kehidupan sehari-hari, apakah layak kita menyatakan beriman kepada Rasul, mentaati perintahnya dan mencintainya sementara kita kita menjadikan beliau sebagai teladan, maka sungguh ironi bila hal ini terjadi. Umat hari ini semakin jauh dari sifat-sifat mulia yang diteladankan Nabi Muhammad Shallahu Alaihi Wassalam. Semakin banyak umat yang tidak jujur terhadap din (Islam). Semakin banyak umat yang berkhianat terhadap Allah Rabbul Alamin, Rasul-Nya dan Kitab-Nya (Al-Qur'an). Semakin banyak yang menyeleweng dan mendurhaka terhadap Allah Rabbul Alamin. Mereka lebih mencintai musuh-musuh Allah Rabbul Alamin. Mereka menolak menegakkan din (Islam), dan tidak mau bertahkim kepada hukum-hukum Allah. Umat semakin berkiblat kepada sekulerisme dan materialisme. Baginda Nabi Muhammad Shallahu Alaihi Wassalam hidup dengan sangat zuhud. Seperti dituturkan oleh Aisyah ra, bagaimana kehidupan Nabi Muhammad, yang hanya mempunyai dua baju, tidur diatas daun pelepah kurma, perutnya selalu lapar, bahkan pernah diganjal dengan batu, dan sangat sedikit tidur. Bandingkan dengan umat sekarang. Bajunya paling sedikit dua lemari. Dengan berbagai model. Jasnya bertumpuk-tumpuk. Sepatunya berderet-deret semuanya branded. Tidurnya diatas kasur yang import harganya puluhan juta. Bagaimana bisa melaksanakan shalat malam? Umat sekarang jauh dibandingkan dengan Nabi Muhammad Shallahu Alaihi Wassalam. Perutnya buncit-buncit. Kekenyangan. Perut dan fardnya (kemaluannya) telah menjadi "tuhan" baru, segala jenis makanan dimasukkan ke dalam perutnya. Halal dan haram menjadi satu. Umat sekarang kurang tidur bukan untuk beribadah. Tapi bermaksiat kepada Allah Rabbul Alamin. Tidak tidur sepanjang malam. Hanya untuk maksiat. Seperti ke mall, tempat hiburan, nonton telivisi, video, dan nonton bola. Tidak ada yang bergegas saat mendengar adzan. Masjid kosong melompong. Padahal Nabi Muhammad Shallahu Alaihi Wassalam, ketika mi'raj mendapatkan perintah pertama adalah shalat. Uraian yang disampaikan para ulama dan da'i kebanyakan tidak disampaikan dengan ikhlas. Karena semua mempunyai motivasi duniawi. Beribu-ribu orang menghadiri peringatan Maulid Nabi Muhammad Shallahu Alaihi Wassalam, sangat sedikit "atsarnya" (pengaruhnya) terhadap kehidupan. Peringatan Maulid hanya menjadi ritual tradisi, tidak dapat lagi membangkitkan ghirah umat, menegakkan himmah dan marwah umat kepada kebangkitan Islam. Umat semakin terpuruk ke dalam lembah kekufuran dan kemusyrikan.
Hubungi kami Telp, SMS, WA ke 081 322 445 955 - 0817 424 308 PIN.D9A9E096. e-mail majmusyarifkamil@gmail.com

Majmu Syarif Kamil J Art

Profil

Foto saya
Bandung 40231, Jawa Barat, Indonesia
Menerima Pesanan Buku Majmu Syarif Kamil. Contact Person : WA. 081322445955 - 0817424308 fax 022-6030414. Pin. D9A9E096 Email: amin_mau09@yahoo.com