Buku Majmu Syarif Kamil di Terbitkan oleh Penerbit : Cv. Jumanatul Ali-Art. Jl. Adikrisan No. 8 Perum. Bumi Adipura Gedebage Bandung./ Jl Warung Peuteuy No.207 Tarogong Kaler Garut Jawa Barat.

Tabah Menghadapi Ujuan

Sebenarnya hidup ini merupakan sederetan ujian dan cobaan yang akan dilalui manusia, sejak lahir hingga wafat ujian ini silih berganti datang kepada umat manusia. Bahkan ujian itu mendewasakan pribadi manusia yang mengalaminya. “Sungguh, besarnya pahala tergantung besarnya ujian. Jika Allah mencintai suatu kaum..Allah pasti mengujinya…." (HR Tirmidzi)

Kehidupan adalah sebuah perjalanan panjang menuju sebuah kesempurnaan keabadian. Dalam perjalanan panjang ini sudah dapat dipastikan tidak mungkin akan lurus saja tanpa adanya tikungan dan hambatan. Pastinya perjalanan ini sulit lagi berat. Jalannya berliku, kadang menurun dan mendaki. Itulah ujian.

Fitrah dari sebuah kehidupan.”Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan mengatakan, "Kami telah beriman, sedangkan mereka tidak diuji lagi?” (QS Al-Ankabuut: 2)

Setiap kali kita memasuki babak baru kenaikan tingkat di sekolah atau di dunia kerja, pastinya ada tes atau ujian yang harus kita lalui terlebih dahulu.

Ujian tersebut bisa berupa tulisan maupun lisan yang pastinya akan menyita banyak tenaga dan pikiran kita. Belajar, bekerja, berpikir bagaimana agar dapat melaluinya dan mendapatkan hasil terbaik guna kelancaran sekolah atau pekerjaan.


Maka begitu pula dengan kehidupan ini.
Di tiap fasenya ada ujian-ujian yang harus kita lalui sebagai syarat kenaikan tingkat untuk mencapai derajat taqwa yang lebih tinggi lagi.
Ujian tentunya bertingkat sesuai dengan kualitas iman seseorang. Semakin tinggi tingkatan imannya, semakin berat pula ujiannya. Sebaliknya, rendahnya tingkatan iman seseorang, tentu saja ujiannya pun akan lebih ringan. Dalam hal ini Rasulullah saw pernah menggambarkan tingkatan ujian itu sebagai berikut :
 ”Tingkat berat - ringannya ujian, disesuaikan dengan kedudukan manusia itu sendiri.
Orang yang paling berat menerima ujian adalah para Nabi, kemudian orang yang lebih dekat derajatnya kepada mereka berurutan secara bertingkat.
Orang diuji menurut tingkat ketaatan kepada agamanya.
Jika ia sangat kukuh kuat dalam agamanya, diuji pula oleh Allah sesuai dengan tingkat ketaatan kepada agamanya. Demikian bala dan ujian itu senantiasa ditimpakan kepada seorang hamba sampai ia dibiarkan berjalan dimuka bumi tanpa dosa apapun.” (HR. Tirmidzi)

Dalam salah satu ayatnya, Allah juga berfirman:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al Baqarah: 286).
Begitulah karakteristik ujian. Maka yakinlah bahwasannya ujian hanyalah skenario yang dibuat oleh Allah untuk menyeleksi hamba-hamba-Nya.[Rizki Adawiyah, Hikmah: Ujian Itu Mendewasakan, Republika OnLineSenin, 14 Maret 2011, 10:22 WIB].

Ujian itu bisa berbentuk sakit, miskin, kematian, rasa takut, bencana alam, godaan kekafiran, dan lain sebagainya. Dari ujian yang diberikan ini akan dapat diketahui apakah keimanan yang kita ikrarkan itu benar atau dusta. Keimanan bagi seorang muslim adalah sesuatu yang sangat bernilai harganya.
Dengan keimanan, amalan dan perbuatan seseorang menjadi bernilai di hadapan Allah SWT.
Karena itu, Islam menganjurkan agar seorang muslim mempertahankan keimanan ini dari segala hal yang dapat menghancurkannya. Jangan sampai hanya karena perkara dunia, lalu kita harus menggadaikan keimanan kita.
Dalam hal ini, Rasulullah saw telah memberikan contoh kepada kita betapa beliau tegar dan tegas dalam mempertahankan keimanan ini. Ketika Rasulullah saw mendapat tawaran dari orang kafir untuk mengadakan ibadah bersama, satu hari bersama orang muslim dan hari yang lain bersama orang kafir, maka dengan tegas Rasulullah menolak tawaran yang merusak keimanan ini.
Hal ini sebagaimana wahyu yang telah Allah SWT turunkan kepada beliau dalam surat Al-Kafirun ayat 1--6, "Katakanlah hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang aku sembah, Dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah, Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah, untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku."
Demikian pula yang dikatakan oleh Rasulullah saw manakala pamannya, Abu Thalib, menyampaikan permintaan orang kafir agar beliau menghentikan dakwahnya. Maka, beliau bersabda, "Demi Allah, wahai pamanku, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan perkara ini, maka aku tidak akan meninggalkannnya, sehingga Allah menampakkannya atau menghancurkan yang lain." Kita bisa melihat betapa tegasnya Rasulullah saw dalam mempertahankan keimanan ini. [Tegar dalam Menghadapi Ujian ,Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia ,01/10/2003].

Ujian atau cobaan itu diberikan kepada manusia sesuai dengan kapasitasnya, ibarat pohon kelapa yang menjulang tinggi maka banyak ujian yang diterimanya seperti terjangan angina, badai, petir dan perubahan cuaca lainnya, tidaklah begitu bagi rumput, sedikali sekali ujian yang diterimanya, tapi keberadaan rumput sangat rendah sekali bahkan diinjak-injak.
Sebuah contoh, saat masih SD, mungkin permasalahan bagi seorang anak hanya sebatas mengerjakan PR sekolah dan saat tidak diberi uang jajan oleh orang tua. Anak itu menangis. Cukup dengan menangis saja, kadang masalah bisa selesai. Butuh uang jajan nanti juga dikasih sama orang tua, butuh bantuan mengerjakan PR, nanti juga ada kakak yang membantu.
Beda pula ketika sang anak memasuki masa SMP, problem-problem baru semakin banyak bermunculan dan masalah-masalah yang datang sudah tidak bisa selesai lagi dengan menangis. Apalagi meningkat jenjang sampai SMA, perguruan tinggi, kehidupan rumah tangga, kehidupan bermasyarakat, bangsa dan Negara.
Semakin banyak saja permasalahan yang harus dihadapi.
Di sinilah lagi-lagi kapasitas itu penting untuk ditingkatkan. Jangan hanya menuntut hak lebih tapi tak mau meningkatkan kapasitas diri. Hanya menuntut diberikan sebuah informasi, tapi tak jelas apa yang selanjutnya ia kerjakan setelah mendapat informasi tersebut.
Perjalanan waktu menjadi ujian bagi peningkatan kapasitas seseorang, ia butuh banyak waktu untuk belajar, menyerap informasi, meng-upgrade kemampuan diri dan wawasan berpikirnya. Diperlukan kesabaran untuk menikmati setiap prosesnya. Mengapa menikmati? Karena proses menuju peningkatan kapasitas seseorang itu adalah sebuah keniscayaan yang akan kita jalani sebagai manusia. Setiap orang akan menjalani proses yang bernama ujian kapasitas. Bagi mereka yang tidak menikmatinya dan hanya ingin instan, segera mencapai level tertinggi tanpa melewati ujian kapasitas, tak akan bisa menikmatinya. Layaknya mendaki sebuah gunung, ujian kapasitas ibarat terus mendaki dan mendaki.
Kita harus melewati tapak demi tapak setiap langkah yang harus dilalui. Jangan pernah menuntut untuk bisa melihat pemandangan dari puncak gunung tanpa mau berlelah-lelah meniti setiap terjal tebih-tebing dan panasnya terik matahari. Jangan pernah menuntut untuk bisa melihat edelweiss tanpa mau berusaha mendaki setiap tanjakan-tanjakan curam dan menghalau dinginnya udara yang menusuk tiap lembaran kulit. Nikmati saja setiap prosesnya, jalani ujian kapasitas yang ada dengan penuh kesabaran. Jangan pernah menuntut instan ingin ini ingin itu. Karena sebuah informasi hanya akan diberikan kepada orang yang kapasitasnya memenuhi kriteria dan layak untuk mendapatkannya.
Saat ada yang bertanya, “kenapa banyak yang dirahasiakan kepada saya?”,
jawabannya adalah “apakah saya sudah layak untuk menerimanya.”[Jupri Supriadi ,Ujian Kapasitas…dakwatuna.com 24/8/2011 | 25 Ramadhan 1432 H].

Maulana Muhammad Zakariyya Al Kandahlawi Rah,a dalam bukunya berjudul Himpunan Fadhilah Amal menyatakan ; Selama Sembilan tahun sejak kerasulannya. Nabi Muhammad saw, telah berusaha menyampaikan ajaran Islam dan berusaha menyampaikan petunjuk untuk memperbaiki kaumnya di Mekkah. Namun, sangat sedikit yang mau menerima ajaran beliau, kecuali mereka yang sejak awal telah masuk Islam. Selain mereka, ada orang-orang yang belum masuk islam, tetapi siap membantu Rasulullah saw. Dan sebagian besar kafirin Mekkah selalu menyakiti beliau dan para sahabatnya. Abu Thalib termasuk orang yang belum memeluk Islam, tetap hatinya sangat mencintai Rasulullah saw.
Ia akan melakukan apa saja untuk menolong Nabi saw.
Pada tahun kesepuluh kenabian, ketika Abu Thalib meninggal dunia, kaum kuffar semakin leluasa untuk mencegah perkembangan Islam dan menyakiti kaum muslimin. Karena keadaan tersebut, Rasulullah saw, pergi ke Thaif. Disana ada suatu kabilah bernama Tsaqif, yang sangat banyak anggotanya. Beliau saw, berpendapat, jika mereka memeluk Islam, maka kaum muslimin akan terbebas dari siksaan kaum kafrin, dan akan menjadikan kota itu sebagai pusat penyebaran Islam. Setibanya di Thaif, Nabi saw, lansung menemui tiga orang pemuka masyarakat dan berbicara dengan mereka, mengajaknya kepada Islam, juga mengajak mereka untuk ikut membantu penyebaran agama ini. Namun, mereka bukan saja menolak, bahkan adat bangsa Arab yang terkenal dengan penghormatannya terhadap tamu tidak mereka tunjukkan. Mereka menerima beliau dengan sikap yang sangat buruk, mereka menunjukkan rasa tidak suka dengan kedatangan Nabi saw.
Pada mulanya, beliau berharap kedatangannya kepada tokoh masyarakat itu akan disambut dengan baik dan sopan. Tetapi sebaliknya, salah seorang diantara mereka ada yang berkata,”Wahai, kamukah yang dipilih Allah sebagai Nabi-Nya?”.
Yang lain berkata,”Apakah tidak ada orang selainmu yang lebih pantas dipilih Allah sebagai Nabi?”.
Yang ketiga berkata,”Saya tidak mau berbicara denganmu, karena jika kamu memang benar seorang Nabi seperti yang kamu akui, dan kemudian aku menolakmu, tentu tidak akan mendatangkan bencana. Dan jika kamu berbohong, maka tidak ada gunanya berbicara denganmu.” Setelah menemui mereka yang sulit untuk diharapkan itu, Nabi saw, berharap agar dapat berbicara dengan selain mereka.
Inilah sifat Nabi saw, yang selalu bersungguh-sungguh, teguh pendirian, dan tidak mudah berputus asa. Ternyata tidak satupun diantara mereka yang mau menerima beliau, bahkan mereka membentak Rasulullah saw,”Keluarlah kamu dari kampung ini!
Pergi kemana saja kau suka!” Ketika Nabi saw, sudah tidak dapat mengharapkan mereka dan bersiap-siap akan meninggalkan mereka, mereka telah menyuruh pada pemuda kota agar mengikuti Nabi saw, lalu mengganggu, mencaci, serta melempari beliau dengan batu, sehingga sandal beliau penuh dengan darah.
Dalam keadaan seperti inilah Rasulullah saw meninggalkan Thaif. Ketika pulang, Rasulullah saw menjumpai suatu tempat yang dianggap aman dari kejahatan mereka. Beliau saw, berdoa kepada Allah Swt. “Ya Allah, aku mengadukan kepada-Mu kelemahan kekuatanku, dan sedikitnya daya upayaku pada pandangan manusia. Wahai yang Maha Rahim dan sekalian rahimin. Engkaulah Tuhannya orang-orang yang merasa lemah, dan Engkaulah Tuhanku, kepada siapakah Engkau serahkan diriku. Kepada musuh yang akan menguasaiku, atau kepada keluargaku yang Engkau berikan segala urusanku, tiada suatu keberatan asalkan tetap dalam ridha-Mu, Afiat-Mu lebih berharga bagiku. Aku berlindung kepada-Mu dengan nur wajah-Mu, yang menyinari segala kegelapan, dan yang membaguskan urusan dunia dan akherat. Dari turunnya murka-Mu atasku tau turunnya adzab-Mu atasku. Kepada Engkaulah kuadukan keadaanku, hingga Engkau ridha. Tiada daya dan upaya melainkan dengan-Mu.”
Demikian sedihnya doa Nabi saw, sehingga Jibril as, datang memberi salam kepada beliau dan berkata,”Allah swt telah mendengar perbincanganmu dengan kaummu, dan Allah juga mendengar jawaban mereka, dan Dia telah mengutus kepadamu malaikat penjaga gunung agar siap melaksanakan apapun perintahmu kepadanya.” Malaikat itupun datang dan memberi salam kepada Nabi saw, seraya berkata,”Apapun yang engkau perintahkan akan kulaksanakan. Bila engkau suka, akan kubenturkan kedua gunung di samping kota ini, sehingga siapapun yang tinggal diantara keduanya akan mati terhimpit. Jika tidak, apapun hukuman yang engkau inginkan, aku siap melaksanakannya.” Rasulullah saw, yang bersifat pengasih dan mulia ini menjawab,”Saya hanya berharap kepada Allah swt, andaikan pada saat ini mereka tidak menerima Islam, mudah-mudahan keturunan mereka kelak akan menjadi orang-orang yang beribadah kepada Allah”.[Ash Shaff, 2003, hal 5].

Tabah atau sabar dalam menghadapi ujian hidup ini merupakan kekuatan energy yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang beriman kepada Allah, tanpa iman sulit untuk bisa sabar atau tabah dalam menghadapi ujian. Al-Qur’an sendiri membahasakan
 ” فاصبر على ما يقولون”
artinya ” Maka bersabarlah kamu terhadap apa yang mereka katakan” , kata “yaquluna” di sini dalam kaidah bahasa Arab menggunakan fi’il mudhari’ (Present Tense) yang menunjukkan perbuatan yang dilakukan pada masa ‘sekarang’ atau ‘akan datang’, Jadi Allah sendirilah yang memerintahkan untuk bersabar secara berkala bahkan terus-menerus tanpa putus. Makanya di dalam Qur’an tidak difirmankan
 ” فاصبر على ماقالوا” 
artinya pun menjadi berbeda yaitu ” Maka bersabarlah kamu terhadap apa yang (telah) mereka katakan”, kata qolu di sini menggunakan fi’il madhi (Past Tense) yang menunjukkan suatu perbuatan yang terjadi di masa lampau, kalaupun demikian ayatnya, secara tidak langsung sabar itu ada batasnya padahal tidaklah demikian adanya. Sebagai contoh dari gaya bahasa di atas yang disertai perintah beribadah ada di surat Qaaf ayat 39-40 juz 26:” 
Maka bersabarlah kamu terhadap apa yang mereka (sekarang dan akan) katakan dan bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam(nya). [39] Dan bertasbihlah kamu kepada-Nya di malam hari dan setiap selesai sembahyang. [40].
Contoh lainnya di surat Shaad ayat 17 juz 23: “Bersabarlah atas segala apa yang mereka (sekarang dan akan) kataka” Terbantahkan sudah ungkapan yang menyatakan kalau “sabar itu ada batasnya”.
Kalaupun memang ada, pahalanya juga tentu terbatas, padahal tidak demikian Islam mengajarkan, balasan untuk orang bersabar itu sungguh luar biasa, tidak terhingga, tanpa batas, ibarat orang yang tertimpa uang lembaran yang jumlahnya sampai jutaan bahkan miliaran rupiah alias kedatangan rezki nomplok atau lebih dari apa yang saya ibaratkan.
Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. QS: An Nahl ayat 96 juz 14.
Tak seorang pun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan. QS: As Sajdah ayat 17 juz 21. 
Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. QS: Az Zumar ayat 10 juz 23.
Jika kita perhatikan isi kandungan Al-Qur’an secara utuh akan didapati hampir semua kata-kata iman selalu diiringi dengan amal shalih, sekiranya ada satu ayat dalam Qur’an yaitu di surat Huud ayat 11 juz 12 yang mensejajarkan iman dengan sabar. (karena keagungannya) “kecuali orang-orang yang sabar (terhadap bencana), dan mengerjakan amal-amal saleh; mereka itu beroleh ampunan dan pahala yang besar”.
Dimana ayat sebelumnya menerangkan keadaan orang-orang yang mendapat nikmat pasca bencana, kebanyakan mereka berbangga dan gembira, lupa kalau Allahlah yang menghilangkan bencana tersebut, berbeda dengan para penyabar yang menyikapinya dengan tenang dan meyakini segala ketetapan Allah yang ada di dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum dijadikannya suatu bencana dan nikmat. Karena yang demikian supaya tidak berduka cita terhadap apa yang luput dari kita, juga tidak terlalu gembira (melampaui batas hingga membuat sombong) terhadap apa yang diberikan kepada kita.[Guntara Nugraha Adiana Poetra, Lc.Keagungan Sabar & Kisah Ulil Albab, dakwatuna.com 23/11/2011 | 26 Zulhijjah 1432 H].

Walaupun kita tidak meminta ujian atau cobaan dari Allah tapi ujian itu pasti diberikan kepada hamba-Nya sesuai dengan kapasitasnya, demikian pula sebaliknya, janganlah kita meminta ujian itu yang kita tidak sanggup untuk memikulnya. Dalam menerima ujian itu modal dasarnya adalah keimanan sehingga menerimanya dengan kesabaran dan ketabahan, ujian dan cobaan itu sakit yang dirasakan oleh siapapun tapi refleksinya berbeda antara yang tabah menerima ujian dengan yang tidak tabah.
Orang yang tidak tabah mudah sekali mengeluh, mengerang dan mengigau serta meracau bahkan teriak-teriak karena sakit yang sedang dialaminya, sedangkan orang yang tabah seolah-olah dia nikmati rasa sakit itu hanya dengan sedikit keluhan. Wajar bila Rasul menyatakan bahwa siapa saja yang tertusuk duri atau terselandung kakinya, dengan mengucapkan astaghfirullah lalu dia ikhlas dengan kejadian itu maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu, itu hanya ditusuk duri, apalagi ujian dan cobaan lain yang lebih besar tentu lebih besar pula ganjarannya dengan sarat yaitu tabah menerima ujian itu, wallahu ‘alam
Hubungi kami Telp, SMS, WA ke 081 322 445 955 - 0817 424 308 PIN.D9A9E096. e-mail majmusyarifkamil@gmail.com

Majmu Syarif Kamil J Art

Profil

Foto saya
Bandung 40231, Jawa Barat, Indonesia
Menerima Pesanan Buku Majmu Syarif Kamil. Contact Person : WA. 081322445955 - 0817424308 fax 022-6030414. Pin. D9A9E096 Email: amin_mau09@yahoo.com